Telusur

Wednesday 26 March 2014

GLOBALISASI DAN POLA KONSUMSI MASYARAKAT

Pendahuluan
Proses globalisasi disemua lini kehidupan manusia tidak akan pernah ada satupun kekuatan yang mampu mencegahnya. Oleh karena itu pada akhirnya batas-batas Negara secara geografis menjadi tidak penting, dan bahkan dapat dikatakan sudah tidak ada lagi dilihat dari keluar masuknya suatu informasi, pengetahuan, dan teknologi yang mampu mempengaruhi kehidupan global manusia secara individu maupun kelompok.[1]
Berbagai penemuan baru super canggih produk ratio telah mampu merubah tatanan dan pola hidup yang dilakonkan manusia, termasuk paradigma kehidupannya. Perubahan dimaksud sekaligus telah menjadi pertanda keberhasilan manusia mengganti peran alam yang awalnya hadir sebagai mitra dalam kehidupan di semesta ini kini menjadi objek eksploitasi hanya dengan mengedepankan dalih demi kelangsungan hidup manusia dan demi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Alfin Tovler, futurolog yang membagi tiga tahapan perkembangan peradaban manusia, menyatakan bahwa manusia saat ini hidup di tengah periode masyarakat komunikasi yang berlangsung sejak 1970 hingga sekarang. Dalam kehidupan di dunia baru ini manusia mengalami proses transformasi – untuk tidak mengatakan revolusi seperti yang diistilahkan oleh Franz Magnis – yang begitu cepat dan mencengangkan. Hasil olah sains dan teknologi canggih yang diciptakan manusia membuat sesuatu  menjadi mudah, tidak berjarak dan tidak tersekat oleh waktu dan tempat. Semuanya dapat dilampaui oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.[2]
Era globalisasi diyakini membawa perubahan cukup besar dalam setiap aspek kehidupan, terutama bidang ekonomi yang merupakan titik fokus globalisasi, yaitu menjadikan ekonomi lebih efesien dan lebih sehat menuju kemajuan masyarakat dunia.[3] Bahkan Prof. dr. Muhammad Sulchan menyebutkan bahwa globalisasi mendorong terjadinya perubahan radikal dalam sistem retail pangan,[4] yang ditandai dengan menjamurnya “hypermarket”, restoran cepat saji, waralaba, “food court” dari berbagai penjuru dunia, yang sebagian besar meyajikan “junk food” (makanan sampah) dengan resiko terkena kanker sangat tinggi.” Penetrasi pangan global menyebabkan konvergensi makanan, pergeseran budaya pangan, perubahan pola makan, dan kebiasaan makan tidak sehat, hal itu ditandai dari konsumtivisme dan hedonisme yang imitatif.
Menyorot realitas sebagaimana paparan di atas maka dalam tulisan ini penulis sengaja mengangkat permasalahan, bagaimana perspektif masyarakat mengenai globalisasi? Apa kaitan globalisasi dengan pola konsumsi masyarakat? Dan bagaimana hubungan globalisasi dengan pola konsumsi masyarakat dalam perpektif syariah?
Perspektif Masyarakat Tentang Globalisasi
Dalam perspektif global kehidupan masyarakat, terjadi kesenjangan antara tuntutan rill masyarakat di satu pihak dan yang harus dicapai di pihak yang lain. Meskipun demikian kesenjangan tersebut akan selalu terjadi secara dinamik. Hal itu menurut Prof. Suyanto disebabkan karena saat ini kita telah memasuki suatu budaya, yang oleh Tapscoot (1998) disebut sebagai “The Net Generation (N-GEN) yang sangat mengandalkan pada jaringan computer.[5] Globalisasi dipersepsi juga sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dannegara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab,globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan  budaya  masyarakat.
Herry Priyono dan Prasetyantoko dalam artikel masing-masing berjudul: Dua Globalisasi dan Another World is Possible, yang dimuat dalam Harian Kompas, Selasa 28 Januari 2003 menjelaskan bahwa Globalisasi mempunyai dua pengertian: pertama sebagai deskripsi/definisi yaitu proses menyatukan pasar dunia menjadi pasar tunggal (borderless market), dan kedua, sebagai obat kuat (prescription) menjadikan ekonomi lebih efesien dan lebih sehat menuju kemajuan masyarakat dunia. Baik Priyono maupun Prasetyantoko berpendapat bahwa dengan dua pengertian itu jelas bahwa menurut para pendukung globalisasi, atau para penganut faham globalisme, tidak ada pilihan lain bagi setiap Negara untuk mengikutinya jika tidak mau ditinggalkan atau terisolasi dari perekonomian dunia yang mengalami kemajuan yang pesat.[6] Namun dipihak lain dalam artikel yang sama mereka juga sepakat dengan Arthur MacEvan bahwa alternatf  itu memang ada. MacEvan membantah secara tegas dengan mengatakan bahwa:
Contrary to claims of its proponent, there are alternatives to the neoliberalism cours, and the alternatives are for preferable in term of immediate and long terms consequences”. Bahwa berlawanan dengan klaim itu, terdapat alternatif lain dari aliran neoliberal, dan alternatif ini jauh lebih disukai pengaruhnya pada jangka pendek dan jangka panjang.
Dalam bukunya A Development Alternative for Indonesia, Mubyarto dan Daniel W. Bromley menegaskan globalisasi dapat dielakkan atau diperlukan (globalization is neither inevitable nor necessary) ,[7] yang berarti bahwa meskipun kekuatan globalisasi nampak luar biasa tetap ada peluang bagi negara untuk membuat aturan-aturan nasional yang dapat membatasi dan mengendalikan keserakahan globalisasi sehingga tidak merugikan kepentingan nasional Negara.
Suyanto justeru berpandangan bahwa di era global seperti saat ini, arus dan interaksi informasi tidak dapat dikendalikan lagi oleh kekuatan apapun, merumuskan asumsi untuk menggambarkan masa depan dengan tingkat validitas yang tinggi tidak semudah seperti yang sering dikonseptualisasikan. Hal itu terjadi karena masa depan semakin sulit untuk diprediksi arah dan dinamikanya. Kesulitan untuk memprediksi masa depan ini terjadi karena era global memaksa semua orang harus berada dalam keadaan saling tergantung. Akibatnya perubahan-perubahan yang terjadi akan semakin tidak linier, tidak kontinyu, tidak teratur dan demikian sulit untuk diprediksi.[8]
Kaitan Globalisasi dengan Pola Konsumsi Masyarakat
Konsumsi merupakan faktor vital yang mendasari munculnya aktifitas produksi dan distribusi. Tanpa konsumsi tidak mungkin seseorang akan melakukan aktifitas produksi dan distribusi. Sistem ekonomi kapitalis secara langsung telah menyebabkan perilaku konsumsi masyarakat dunia lebih cenderung kepada pemuasan keinginan maximizing satisfaction of wants. Perilaku ini direpesentasikan dengan memaksimalkan pengunaan barang dan jasa maximizing utility yang cenderung bebas nilai. Perilaku semacam ini tentu akan bermuara pada munculnya budaya baru dalam perilaku konsumsi masyarakat dunia yaitu hedonisme dan permisivisme. Hedonisme adalah paham yang mengutamakan pemuasan nafsu duniawi semata sedangkan permisivisme adalah paham yang serba membolehkan (mengkonsumsi) segalanya.[9]
Di Indonesia, perilaku konsumtif masyarakat terhadap barang dan jasa tumbuh dan berkembang sebagai akibat dari lajunnya perkembangan globalisasi ekonomi (kapitalis). Menjamurnya pusat perbelanjaan semacam shopping mall, industri mode, kawasan hunian mewah, kegandrungan terhadap merk asing, makanan serba instan (fast food), telepon seluler dan lain sebagainya, semuanya merupakan buah globalisasi.
Era globalisasi telah mendorong terjadinya perubahan dalam  pola hidup masyarakat, demikian pula pada gaya hidup dan pola makan. Masyarakat lebih cenderung menjalani gaya hidup yang lebih praktis berhubungan dengan keterbatasan waktu istirahat yang mereka miliki, begitu pula dengan pola makanan yang mereka konsumsi. Masyarakat cenderung menkonsumsi makanan cepat saji dengan tidak mempertimbangkan kandungan dari makanan tersebut.
Pragmatisme dan hedonisme pun telah begitu membudaya. Jika sesuatu dianggap bermanfaat secara praktis material, maka ia dianggap kebenaran yang bernilai.[10]. Kederhanaan gaya hidup yang merupakan tujuan pokok dari pembangunan individu dan masyarakat dan solidaritas antara sesama tampak terabaikan. Jan Timbergen menyatakan bahwa solidaritas  menjadi perangkum kepentingan-kepentingan individu dalam membentuk kepentingan social.[11]
Dalam sejarah peradaban, manusia mengakses pangan yang dibutuhkan untuk dikonsumsi selalu mengikuti hukum-hukum alam yang terikat secara ekologis dengan makro dan mikrokosmosnya. Alam semesta merupakan tempat manusia belajar banyak hal, termasuk keberagaman, keseimbangan, dan saling ketergantungan yang sinergis”. Ketika keberagaman dan keseimbangan terancam oleh perilaku manusia, maka pilar kehidupan akan runtuh. Eksploitasi alam berlebihan untuk memenuhi hasrat konsumsi manusia.[12]
Dalam catatan antropologi, peradaban manusia dibedakan berdasarkan mata pencaharian masyarakat. Tahap pertama (gelombang hidup pertama) ditandai dengan adanya peradaban manusia yang didominasi oleh tradisi memburu dan meramu. Pola konsumsi manusia pada masa itu dengan makan makanan hasil ramuan bahan tumbuhan yang dikumpulkan dari hutan dan memakan hasil hutan (hewan atau tumbuhan) yang diburu kemudian dimakan.
Setelah terjadi revolusi atau gelombang peradaban yang pertama, manusia beranjak pada tahapan agrikultur. Mata pencaharian manusia sudah bukan lagi berburu dan meramu, melainkan sudah pada tahap bercocok tanam. Pada tahap ini pola dan jenis makanan yang dikonsumsi pun adalah makanan hasil olahan baik yang bersifat tradisional melalui tangan-tangan mannusia maupun yang merupakan hasil produk teknologi (mesin)
Setiap masyarakat memang memiliki persepsi yang berbeda mengenai benda yang dikonsumsi. Perbedaan persepsi ini sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku di masyarakat. Oleh karena itu, bila bertemu beberapa orang dengan latar belakang budaya berbeda akan menunjukkan persepsi ini terhadap makanan yang berbeda.
Meningkatnya pengaruh globalisasi, termasuk globalisasi pola konsumsi makanan, tidak dapat dibendung, kecenderungan untuk mengkonsumsi makanan impor, terutama jenis siap santap (fast food) seperti ayam goreng, pizza, hamburger dan lain-lain, telah meningkat tajam terutama dikalangan generasi muda dan kelompok masyarakat ekonomi menengah ke atas di kota-kota besar, dipihak lain, kecintaan masyarakat terhadap makanan tradisional Indonesia mulai menurun.
Konsumsi rumah tangga didominasi oleh penduduk berpenghasilan tinggi. Hal ini pun mempengaruhi pola konsumsi masyarakat yang cenderung bergeser dari konsumsi produk makanan ke non makanan.[13] Kepala Biro Humas Bank Indonesia, Diffi Ahmad Johansyah, menegaskan bahwa "sekarang konsumsi bukan makanan (yang mendominasi). Menurutnya hal ini mungkin ada kaitannya dengan kelompok menengah atas yang semakin berperan, karena merekalah yang lebih banyak (konsumsi) dan  mungkin karena pendapatan kelompok bawah terbatas kenaikannya," Lebih lanjut Diffi mengemukakan bahwa berdasarkan data BPS, sebesar 20 persen dari jumlah penduduk Indonesia merupakan masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Masyarakat ini mendominasi konsumsi rumah tangga nasional sebesar 43 persen. Pada kuartal pertama tahun ini, masyarakat Indonesia yang mengonsumsi produk makanan hanya mencapai 47,9 persen. Sisanya sebesar 52,1 persen, merupakan konsumsi produk non makanan.[14]
Pandangan tersebut dapat dipertegas dengan studi yang dilakukan oleh Euromonitor International bahwa, dalam kurun waktu 25 tahun (1990-2015), rumah tangga Indonesia mengalami revolusi konsumsi yang luar biasa. Belanja konsumen untuk produk AC naik 332 persen, cable TV naik 600 persen, kamera naik 471 persen, sepeda motor naik 17.430 persen, mesin cuci piring naik 291 persen, dan telepon naik 1.643 persen.[15] Dengan kata lain,  dalam sebuah keluarga tidak cukup kalau hanya memiliki satu TV, satu sepeda motor atau bahkan satu mobil.
Perspektif Islam Tentang Pola Konsumsi Masyarakat

Di dalam Islam, seluruh kegitan ekonomi baik konsumsi, produksi maupun distribusi bukanlah sebuah tujuan akhir dari kehidupan melainkan hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang tinggi, yaitu falah.[16] Kemewahan dan kemegahan dalam pandangan Islam hanyalah merupakan faktor utama datangnya azab Allah. Menurut ar-Razi, mewah adalah orang yang dismbongkan oleh kenikmatan dan kemudahan hidup[17]
Dalam masalah konsumsi, Islam mengatur bagaimana manusia dapat melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa manusia berguna bagi kemashlahatan hidupnya. Seluruh aturan Islam mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Prilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah ini akan membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya.
Kesibukan memburu gebyar materi untuk bisa memanjakan selera dan naluri konsumtif, membuat kepedulian terhadap sesama menjadi marginal. Jutaan saudara kita yang masih bergelut dengan lumpur kemiskinan, kelaparan, dan keterbelakangan, luput dari perhatian.[18]
Islam memandang bahwa bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah SWT kepada sang Khalifah agar dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama. Dalam satu pemanfaatan yang telah diberikan kepada sang Khalifah adalah kegiatan ekonomi (umum) dan lebih sempit lagi kegiatan konsumsi (khusus). Islam mengajarkan kepada sang khalifah untuk memakai dasar yang benar agar mendapatkan keridhaan dari Allah Sang Pencipta,[19] antara lain sebagaimana disebutkan dalam Alqur’an:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Terjemahnya:
Makan dan minumlah, namun janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah itu tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.[20]
Ayat di atas menegaskan agar dalam melakukan kegiatan konsumsi tidak boleh berlebih-lebihan, atau dalam arti lain bisa dikatakan bermewah-mewahan. Apalagi gemar memburu kepuasan materialistik. Muhammad Abdul Mannan menyatakan, Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumsi modern. Menurutnya, semakin tinggi kita menaiki jenjang  peradaban, semakin kita terkalahkan oleh kebutuhan fisiologik karena faktor-faktor psikologis. Cita rasa seni, keangkuhan, dorongan-dorongan untuk pamer semua faktor ini memainkan peran yang semakin dominan dalam menentukan bentuk lahiriah konkret dari kebutuhan-kebutuhan fisiologik kita. Dalam suatu masyarakat primitif, konsumsi sangat sederhana, karena kebutuhannya sangat sederhana. Tetapi peradaban modren telah menghancurkan kesederhanaan manusia akan kebutuhan-kabutuhan ini.[21]
Menurut Islam, anugerah-anugerah Allah adalah milik semua manusia. Suasana yang menyebabkan sebagian di antara anugerah-anugerah itu berada ditangan orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri. Orang lain masih berhak atas anugerah-anugerah tersebut walaupun mereka tidak memperolehnya. Dalam Al-Qur’an Allah SWT mengutuk dan membatalkan argumen yang dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena ketidaksediaan mereka memberikan bagian atau miliknya ini.[22]
Selain itu, perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang yang baik itu sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam Islam. Sebab kenikmatan yang dicipta Allah untuk manusia adalah ketaatan kepada-Nya yang berfirman kepada nenek moyang manusia, yaitu Adam dan Hawa, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an:

يَاأَيُّهاَ النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي اْلأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
’Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.[23]
Ayat di atas merupakan anjuran yang membatasi manusia agar mengkonsumsi barang yang bukan saja baik tetapi juga harus halal menurut aturan agama Islam. Makna yang lainnya adalah makanan yang enak, halal, bermanfaat dan bertgizi, serta mengizinkan minum apapun selama tidak menimbulkan dan tidak merusak badan dan jiwa. Dan yang paling terpenting dari ayat tersbut adalah larangan boros dan berlebihan. Berlebih-lebihan atau melampaui batas dalam menggunakan (mengkonsumsi) suatu kebutuhan sangat dicela oleh Islam. Dengan demikian, kesederhanaan menjadi elan vital ajaran Islam dalam perilaku konsumsi.
Menurut penulis mengkonsumsi makanan yang baik akan berefek baik pula pada tubuh secara jasmani. Demikian juga mengkonsumsi makanan yang halal akan memberikan efek baik secara rohaniah. Dengan  demikian ketika mengkonsumsi makanan yang halal lagi baik akan memberikan efek kebaikan baik secara jasmani maupun rohani.


[1]Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional Dalam Percaturan Dunia Global (Cet. I; Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2006), h. 10
[2]Lihat, Usman Kelutur, Pola Hidup Maysarakat Modern, Tinjauan Filsafat Ilmu Pendidikakan, Jurnal Dialektika, Fakultas Dakwah Ushuluddin IAIN Ambon Tahun 2008
[3]Lihat, Herry Priyono dan Prasetyantoko dalam Corneless Rintuh dan Miar, Kelembagaan dan Ekonomi Kerakyatan (Cet. II; Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 2009), h. 40
[4]Kebumennews [Online]. Tersedia:  http://kebumennews.info/kese-hatan/makanan- tradisional- cegah- kanker. Diakses Tanggal 18 Juli 2011.
[5]Suyanto, op. cit., h. 8
[6]Lihat, Corneless Rintuh dan Miar, Kelembagaan dan Ekonomi Kerakyatan (Cet. II; Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 2009), h. 40
[7]Ibid.
[8]Suyanto, op. cit., h. 41-42
[9]Hari Mukti, Ubah Pola Pikir Hedonisme, Materi ceramah yang diakses dari www.antara.co.id/arc/2007/9/27/hari-moekti-ubah-pola-pikir-hedonisme.
[10]Lihat, Usman Kelutur, op.cit.
[11]Corneless Rintuh dan Miar, op.cit., h. 41.
[12]Kebumennews [Online]. Tersedia:  http://kebumennews.info/kese-hatan/makanan- tradisional- cegah- kanker. Diakses Tanggal 18 Juli 2011
[13] Ester Meryana dan Erlangga Djumena, Perilaku Konsumsi, Pola Konsumsi Bergeser ke Non-Makanan, Harian Kompas.Com. [Online]. Tersedia: http://bisniskeuangan.kompas.com/ read/2011/06/15/09401433/Pola.Konsumsi.Bergeser.ke.Non-Makanan. Akses Tgl. 08 Agustus 2011
[14]Kebumennews [Online]. Tersedia: http://kebumennews.info/kesehatan/ makanan- tradisional- cegah- kanker. Diakses Tanggal 18 Juli 2011.
[15]Kharies. Konsumerisme Menjebak Bangsa Indonesia ke Dalam Kapitalisme. Artikel [Online]. Tersedia: http://ardian.awardspace.info/ detail.php?recordID=2. Diakses Tanggal 18 Juli 2011.
[16]Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Terj. Zainul Arifin dan Dahlia Husin (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 33
[17] Ibid., h. 153
[18]Lihat, Sawali dalam Usman Kelutur, op .cit.
[19]Muhammad. Ekonomi Mikro (Dalam Persfektif Islam). Yogyakarta : BPFE. 2005 : 162
[20]Lembaga Percetakan Al-Quran Raja Fahd, Al-Quran dan Terjemahnya (Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at Al-Mush-Haf Asya-Syarif Medinah Munawwarah, 1426), h. 225
[21]M. Abdul Mannan, M.A. Teori dan Prakrtek Ekonomi Islam (Edisi Terjemahan). (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1997), h. 44
[22]Monzer Kahf, Ekonomi Islam (Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam), (Yogyakarta : Pustaka Pelajar.  199), h. 27.
[23]Lembaga Percetakan Al-Quran Raja Fahd, op.cit., h. 41