Pendahuluan
Proses globalisasi disemua lini kehidupan manusia
tidak akan pernah ada satupun kekuatan yang mampu mencegahnya. Oleh karena itu
pada akhirnya batas-batas Negara secara geografis menjadi tidak penting, dan
bahkan dapat dikatakan sudah tidak ada lagi dilihat dari keluar masuknya suatu
informasi, pengetahuan, dan teknologi yang mampu mempengaruhi kehidupan global
manusia secara individu maupun kelompok.
Berbagai
penemuan baru super canggih produk ratio telah mampu merubah tatanan dan pola
hidup yang dilakonkan manusia, termasuk paradigma kehidupannya. Perubahan
dimaksud sekaligus telah menjadi pertanda keberhasilan manusia mengganti peran
alam yang awalnya hadir sebagai mitra dalam kehidupan di semesta ini kini
menjadi objek eksploitasi hanya dengan mengedepankan dalih demi kelangsungan
hidup manusia dan demi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Alfin Tovler, futurolog yang membagi tiga tahapan
perkembangan peradaban manusia, menyatakan bahwa manusia saat ini hidup di
tengah periode masyarakat komunikasi yang berlangsung sejak 1970 hingga
sekarang. Dalam kehidupan di dunia baru ini manusia mengalami proses
transformasi – untuk tidak mengatakan revolusi seperti yang diistilahkan oleh
Franz Magnis – yang begitu cepat dan mencengangkan. Hasil olah sains dan
teknologi canggih yang diciptakan manusia membuat sesuatu
menjadi mudah, tidak berjarak dan tidak
tersekat oleh waktu dan tempat. Semuanya dapat dilampaui oleh ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Era globalisasi diyakini membawa perubahan cukup
besar dalam setiap aspek kehidupan, terutama bidang ekonomi yang merupakan
titik fokus globalisasi, yaitu menjadikan ekonomi lebih efesien dan lebih sehat
menuju kemajuan masyarakat dunia.
Bahkan Prof. dr. Muhammad Sulchan menyebutkan bahwa globalisasi mendorong
terjadinya perubahan radikal dalam sistem retail pangan,
yang ditandai dengan menjamurnya “
hypermarket”,
restoran cepat saji, waralaba, “
food
court” dari berbagai penjuru dunia, yang sebagian besar meyajikan “
junk food” (makanan sampah) dengan resiko
terkena kanker sangat tinggi.” Penetrasi pangan global menyebabkan konvergensi
makanan, pergeseran budaya pangan, perubahan pola makan, dan kebiasaan makan
tidak sehat, hal itu ditandai dari konsumtivisme dan hedonisme yang imitatif.
Menyorot
realitas sebagaimana paparan di atas maka dalam tulisan ini penulis
sengaja mengangkat permasalahan, bagaimana perspektif masyarakat mengenai
globalisasi? Apa kaitan globalisasi dengan pola konsumsi masyarakat? Dan
bagaimana hubungan globalisasi dengan pola konsumsi masyarakat dalam perpektif
syariah?
Perspektif Masyarakat Tentang Globalisasi
Dalam perspektif global kehidupan masyarakat, terjadi
kesenjangan antara tuntutan rill masyarakat di satu pihak dan yang harus
dicapai di pihak yang lain. Meskipun demikian kesenjangan tersebut akan selalu
terjadi secara dinamik. Hal itu menurut Prof. Suyanto disebabkan karena saat
ini kita telah memasuki suatu budaya, yang oleh Tapscoot (1998) disebut sebagai
“The Net Generation (N-GEN) yang sangat mengandalkan pada jaringan computer.
Globalisasi dipersepsi juga sebagai sebuah proyek yang diusung oleh
negara-negara
adikuasa,
sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga
terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme
dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis
akan mengendalikan
ekonomi dunia dannegara-negara
kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab,globalisasi
cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh
terhadap bidang-bidang lain seperti
budaya dan
agama dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi
dan budaya masyarakat.
Herry Priyono dan Prasetyantoko dalam artikel
masing-masing berjudul: Dua Globalisasi dan
Another
World is Possible, yang dimuat dalam Harian Kompas, Selasa 28 Januari 2003
menjelaskan bahwa Globalisasi mempunyai dua pengertian: pertama sebagai
deskripsi/definisi yaitu proses menyatukan pasar dunia menjadi pasar tunggal (
borderless market), dan kedua, sebagai
obat kuat (
prescription) menjadikan
ekonomi lebih efesien dan lebih sehat menuju kemajuan masyarakat dunia. Baik
Priyono maupun Prasetyantoko berpendapat bahwa dengan dua pengertian itu jelas
bahwa menurut para pendukung globalisasi, atau para penganut faham globalisme,
tidak ada pilihan lain bagi setiap Negara untuk mengikutinya jika tidak mau
ditinggalkan atau terisolasi dari perekonomian dunia yang mengalami kemajuan
yang pesat.
Namun dipihak lain dalam artikel yang sama mereka juga sepakat dengan Arthur
MacEvan bahwa alternatf
itu memang ada.
MacEvan membantah secara tegas dengan mengatakan bahwa:
“Contrary to claims of its proponent, there are
alternatives to the neoliberalism cours, and the alternatives are for
preferable in term of immediate and long terms consequences”. Bahwa
berlawanan dengan klaim itu, terdapat alternatif lain dari aliran neoliberal,
dan alternatif ini jauh lebih disukai pengaruhnya pada jangka pendek dan jangka
panjang.
Dalam bukunya A
Development Alternative for
Indonesia, Mubyarto dan Daniel W. Bromley menegaskan globalisasi dapat
dielakkan atau diperlukan (globalization
is neither inevitable nor necessary)
yang berarti bahwa meskipun kekuatan globalisasi nampak luar biasa tetap ada
peluang bagi negara untuk membuat aturan-aturan nasional yang dapat membatasi
dan mengendalikan keserakahan globalisasi sehingga tidak merugikan kepentingan
nasional Negara.
Suyanto justeru berpandangan bahwa di era global
seperti saat ini, arus dan interaksi informasi tidak dapat dikendalikan lagi
oleh kekuatan apapun, merumuskan asumsi untuk menggambarkan masa depan dengan
tingkat validitas yang tinggi tidak semudah seperti yang sering
dikonseptualisasikan. Hal itu terjadi karena masa depan semakin sulit untuk
diprediksi arah dan dinamikanya. Kesulitan untuk memprediksi masa depan ini terjadi
karena era global memaksa semua orang harus berada dalam keadaan saling
tergantung. Akibatnya perubahan-perubahan yang terjadi akan semakin tidak
linier, tidak kontinyu, tidak teratur dan demikian sulit untuk diprediksi.
Kaitan Globalisasi dengan Pola Konsumsi Masyarakat
Konsumsi
merupakan faktor vital yang mendasari munculnya aktifitas produksi dan
distribusi. Tanpa konsumsi tidak mungkin seseorang akan melakukan aktifitas
produksi dan distribusi. Sistem ekonomi kapitalis secara langsung telah
menyebabkan perilaku konsumsi masyarakat dunia lebih cenderung kepada pemuasan
keinginan maximizing satisfaction of wants. Perilaku
ini direpesentasikan dengan memaksimalkan pengunaan barang dan jasa maximizing utility yang
cenderung bebas nilai. Perilaku semacam ini tentu akan bermuara pada munculnya
budaya baru dalam perilaku konsumsi masyarakat dunia yaitu hedonisme dan permisivisme. Hedonisme adalah paham yang mengutamakan pemuasan nafsu
duniawi semata sedangkan permisivisme
adalah paham yang serba membolehkan (mengkonsumsi) segalanya.
Di
Indonesia, perilaku konsumtif masyarakat terhadap barang dan jasa tumbuh dan
berkembang sebagai akibat dari lajunnya perkembangan globalisasi ekonomi
(kapitalis). Menjamurnya pusat perbelanjaan semacam shopping mall,
industri mode, kawasan hunian mewah, kegandrungan terhadap merk asing, makanan serba instan (fast food),
telepon seluler dan lain sebagainya, semuanya merupakan buah globalisasi.
Era globalisasi telah mendorong terjadinya perubahan
dalam pola hidup masyarakat, demikian
pula pada gaya hidup dan pola makan. Masyarakat lebih cenderung menjalani gaya
hidup yang lebih praktis berhubungan dengan keterbatasan waktu istirahat yang
mereka miliki, begitu pula dengan pola makanan yang mereka konsumsi. Masyarakat
cenderung menkonsumsi makanan cepat saji dengan tidak mempertimbangkan kandungan
dari makanan tersebut.
Pragmatisme dan hedonisme pun telah begitu membudaya.
Jika sesuatu dianggap bermanfaat secara praktis material, maka ia dianggap
kebenaran yang bernilai.
.
Kederhanaan gaya hidup yang merupakan tujuan pokok dari pembangunan individu
dan masyarakat dan solidaritas antara sesama tampak terabaikan. Jan Timbergen
menyatakan bahwa solidaritas
menjadi
perangkum kepentingan-kepentingan individu dalam membentuk kepentingan social.
Dalam sejarah peradaban, manusia mengakses pangan
yang dibutuhkan untuk dikonsumsi selalu mengikuti hukum-hukum alam yang terikat
secara ekologis dengan makro dan mikrokosmosnya. Alam semesta merupakan tempat
manusia belajar banyak hal, termasuk keberagaman, keseimbangan, dan saling
ketergantungan yang sinergis”. Ketika keberagaman dan keseimbangan terancam
oleh perilaku manusia, maka pilar kehidupan akan runtuh. Eksploitasi alam
berlebihan untuk memenuhi hasrat konsumsi manusia.
Dalam catatan antropologi, peradaban manusia
dibedakan berdasarkan mata pencaharian masyarakat. Tahap pertama (gelombang
hidup pertama) ditandai dengan adanya peradaban manusia yang didominasi oleh
tradisi memburu dan meramu. Pola konsumsi manusia pada masa itu dengan makan
makanan hasil ramuan bahan tumbuhan yang dikumpulkan dari hutan dan memakan
hasil hutan (hewan atau tumbuhan) yang diburu kemudian dimakan.
Setelah terjadi revolusi atau gelombang peradaban
yang pertama, manusia beranjak pada tahapan agrikultur. Mata pencaharian
manusia sudah bukan lagi berburu dan meramu, melainkan sudah pada tahap
bercocok tanam. Pada tahap ini pola dan jenis makanan yang dikonsumsi pun
adalah makanan hasil olahan baik yang bersifat tradisional melalui
tangan-tangan mannusia maupun yang merupakan hasil produk teknologi (mesin)
Setiap masyarakat memang memiliki persepsi yang
berbeda mengenai benda yang dikonsumsi. Perbedaan persepsi ini sangat
dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku di masyarakat. Oleh karena
itu, bila bertemu beberapa orang dengan latar belakang budaya berbeda akan
menunjukkan persepsi ini terhadap makanan yang berbeda.
Meningkatnya pengaruh globalisasi, termasuk
globalisasi pola konsumsi makanan, tidak dapat dibendung, kecenderungan untuk
mengkonsumsi makanan impor, terutama jenis siap santap (fast food) seperti ayam goreng, pizza, hamburger dan lain-lain,
telah meningkat tajam terutama dikalangan generasi muda dan kelompok masyarakat
ekonomi menengah ke atas di kota-kota besar, dipihak lain, kecintaan masyarakat
terhadap makanan tradisional Indonesia mulai menurun.
Konsumsi rumah tangga didominasi oleh penduduk
berpenghasilan tinggi. Hal ini pun mempengaruhi pola konsumsi masyarakat yang
cenderung bergeser dari konsumsi produk makanan ke non makanan.
Kepala Biro Humas Bank Indonesia, Diffi Ahmad Johansyah, menegaskan bahwa "sekarang
konsumsi bukan makanan (yang mendominasi). Menurutnya hal ini mungkin ada
kaitannya dengan kelompok menengah atas yang semakin berperan, karena merekalah
yang lebih banyak (konsumsi) dan
mungkin
karena pendapatan kelompok bawah terbatas kenaikannya," Lebih lanjut Diffi
mengemukakan bahwa berdasarkan data BPS, sebesar 20 persen dari jumlah penduduk
Indonesia merupakan masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Masyarakat ini
mendominasi konsumsi rumah tangga nasional sebesar 43 persen. Pada kuartal
pertama tahun ini, masyarakat Indonesia yang mengonsumsi produk makanan hanya
mencapai 47,9 persen. Sisanya sebesar 52,1 persen, merupakan konsumsi produk
non makanan.
Pandangan
tersebut dapat dipertegas dengan studi yang dilakukan oleh Euromonitor
International bahwa, dalam kurun waktu 25 tahun (1990-2015), rumah tangga
Indonesia mengalami revolusi konsumsi yang luar biasa. Belanja konsumen untuk
produk AC naik 332 persen, cable TV naik 600 persen, kamera naik 471 persen,
sepeda motor naik 17.430 persen, mesin cuci piring naik 291 persen, dan telepon
naik 1.643 persen.
Dengan kata lain, dalam sebuah keluarga tidak cukup kalau
hanya memiliki satu TV, satu sepeda motor atau bahkan satu mobil.
Perspektif Islam Tentang Pola Konsumsi Masyarakat
Di dalam
Islam, seluruh kegitan ekonomi baik konsumsi, produksi maupun distribusi
bukanlah sebuah tujuan akhir dari kehidupan melainkan hanya merupakan sarana
untuk mencapai tujuan yang tinggi, yaitu falah.
Kemewahan
dan kemegahan dalam pandangan Islam hanyalah merupakan faktor utama datangnya
azab Allah. Menurut ar-Razi, mewah adalah orang yang dismbongkan oleh
kenikmatan dan kemudahan hidup
Dalam masalah konsumsi, Islam mengatur bagaimana
manusia dapat melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa manusia berguna
bagi kemashlahatan hidupnya. Seluruh aturan Islam mengenai aktivitas konsumsi
terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Prilaku konsumsi yang sesuai dengan
ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah ini akan membawa pelakunya mencapai
keberkahan dan kesejahteraan hidupnya.
Kesibukan memburu gebyar materi untuk
bisa memanjakan selera dan naluri konsumtif, membuat kepedulian terhadap sesama menjadi marginal. Jutaan
saudara kita yang masih bergelut
dengan lumpur kemiskinan, kelaparan, dan keterbelakangan, luput dari perhatian.
Islam memandang bahwa
bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah SWT kepada sang
Khalifah agar dipergunakan
sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama. Dalam satu pemanfaatan yang telah
diberikan kepada sang
Khalifah adalah
kegiatan ekonomi (umum) dan lebih sempit lagi kegiatan konsumsi (khusus). Islam
mengajarkan kepada sang
khalifah
untuk memakai dasar yang benar agar mendapatkan keridhaan dari Allah Sang
Pencipta,
antara
lain sebagaimana disebutkan dalam Alqur’an:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَتُسْرِفُوا
إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Terjemahnya:
Makan dan minumlah, namun janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah itu tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.
Ayat di
atas menegaskan agar dalam melakukan kegiatan konsumsi tidak boleh
berlebih-lebihan, atau dalam arti lain bisa dikatakan bermewah-mewahan. Apalagi
gemar memburu kepuasan materialistik. Muhammad Abdul Mannan menyatakan, Islam
tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumsi modern.
Menurutnya, semakin tinggi kita menaiki jenjang
peradaban, semakin kita terkalahkan oleh kebutuhan fisiologik karena
faktor-faktor psikologis. Cita rasa seni, keangkuhan, dorongan-dorongan untuk
pamer semua faktor ini memainkan peran yang semakin dominan dalam menentukan
bentuk lahiriah konkret dari kebutuhan-kebutuhan fisiologik kita. Dalam suatu
masyarakat primitif, konsumsi sangat sederhana, karena kebutuhannya sangat
sederhana. Tetapi peradaban modren telah menghancurkan kesederhanaan manusia
akan kebutuhan-kabutuhan ini.
Menurut
Islam, anugerah-anugerah Allah adalah milik semua manusia. Suasana yang
menyebabkan sebagian di antara anugerah-anugerah itu berada ditangan
orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan
anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri. Orang lain masih berhak atas
anugerah-anugerah tersebut walaupun mereka tidak memperolehnya. Dalam Al-Qur’an
Allah SWT mengutuk dan membatalkan argumen yang dikemukakan oleh orang kaya
yang kikir karena ketidaksediaan mereka memberikan bagian atau miliknya ini.
Selain
itu, perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang yang baik itu
sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam Islam. Sebab kenikmatan yang dicipta
Allah untuk manusia adalah ketaatan kepada-Nya yang berfirman kepada nenek
moyang manusia, yaitu Adam dan Hawa, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an:
يَاأَيُّهاَ النَّاسُ
كُلُوا مِمَّا فِي اْلأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
’Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari
apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan;
karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Ayat di
atas merupakan anjuran yang membatasi manusia agar mengkonsumsi barang yang
bukan saja baik tetapi juga harus halal menurut aturan agama Islam. Makna
yang lainnya adalah makanan yang enak, halal, bermanfaat dan bertgizi, serta
mengizinkan minum apapun selama tidak menimbulkan dan tidak merusak badan dan
jiwa. Dan yang paling terpenting dari ayat tersbut adalah larangan boros dan
berlebihan. Berlebih-lebihan atau melampaui batas dalam menggunakan
(mengkonsumsi) suatu kebutuhan sangat dicela oleh Islam. Dengan demikian,
kesederhanaan menjadi elan vital ajaran Islam dalam perilaku konsumsi.
Menurut penulis mengkonsumsi makanan yang baik akan
berefek baik pula pada tubuh secara jasmani. Demikian juga mengkonsumsi makanan
yang halal akan memberikan efek baik secara rohaniah. Dengan demikian ketika mengkonsumsi makanan yang
halal lagi baik akan memberikan efek kebaikan baik secara jasmani maupun
rohani.