BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kita semua percaya bahwa guru memunyai andil
yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Peran guru
sangat besar dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan
hidupnya secara optimal. Keyakinan tersebut muncul dikarenakan manusia adalah
makhluk yang dalam perkembangannya senantiasa membutuhkan orang lain, sejak
lahir bahkan pada saat akan meninggalkan dunia ini. Hal ini menunjukkan bahwa
setipa orang membutuhkan orang lain dalam perkembangannya, demikian halnya
peserta didik; ketika orang tua mendaftarkan anak ke sekolah, pada saat itu juga
ia menaruh harapan terhadap guru agar anaknya dapat berkembang secara optimal
(Mulyasa, 2007, 35).
Dalam kontek tersebut, sebagai seorang
pendidik, guru harus merespon harapan-harapan orang tua untuk membantu
mengembangkan potensi-potensi peserta didiknya karena potensi-potensi seperti
minat, bakat, kemampuan dan lainnya tidak akan berkembang tanpa bantuan orang
lain dalam hal ini adalah guru.
Galileo dalam Sanjaya (2006) menegaskan bahwa
sebenarnya kita tidak dapat mengajarkan apapun, kita hanya dapat membantu
peserta didik untuk menemukan dirinya dan mengaktualisasikan dirinya. Setiap
pribadi manusia memiliki “self-hidden potential excellece” (mutiara talenta
yang tersembunyi di dalam diri), tugas pendidikan yang sejati adalah membantu
peserta didik untuk menemukan dan mengembangkannya seoptimal mungkin.
Seorang pendidik yang efektif, tidak hanya
efektif dalam kegiatan belajar mengajar di kelas saja (transfer of knowledge), tetapi lebih-lebih dalam relasi pribadinya
dan “modeling”nya (transfer of attitude and values), baik
kepada peserta didik maupun kepada seluruh anggota komunitas sekolah. Relasi
ini berkembang dengan pesat dan menghasilkan buah-buah pendidikan jika
dilandasi oleh cintakasih antar mereka. Pribadi-pribadi hanya berkembang secara
optimal dan relatif tanpa hambatan jika berada dalam suasana yang penuh cinta (unconditional
love), hati yang penuh pengertian (understanding heart) serta relasi
pribadi yang efektif (personal relationship). Dalam mendidik seseorang kita
hendaknya mampu menerima diri sebagaimana adanya dan kemudian mengungkapkannya
secara jujur (modeling). Mendidik tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan,
melatih keterampilan verbal kepada para peserta didik, namun merupakan bantuan
agar peserta didik dapat menumbuhkembangkan dirinya secara optimal.
Perubahan paradigma pendidikan yang berpusat
pada siswa atau pendidikan bagi siswa, telah menuntut peran yang cukup
signifikan dari guru. Ini dikarenakan guru tidak lagi diberi kesempatan menjadi
satu-satunya sumber belajar, malainkan hanya mengupayakan suatu kondisi belajar
yang dapat memudahkan siswanya belajar. Sehingga dicapai tujuan sejati dari
pendidikan yaitu pertumbuhan dan perkembangan diri peserta didik secara utuh
menjadi pribadi dewasa yang matang dan mapan, mampu menghadapi berbagai masalah
dan konflik dalam kehidupan sehari-hari.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Gambaran latar belakang di atas
memberikan kesan bahwa guru perlu mengetahuai dan memahami keterlibatannya
dalam pembelajaran. Ini diperlukan sehingga guru tidak terkesan menjadi
penonton siswa belajar. Dengan demikian berikut dapat dirumuskan beberapa
masalah yaitu:
1.
Kemampuan apa yang harus dimiliki
guru dalam melaksanakan pembelajaran?
2.
Bagaimana peran guru dalam
pembelajaran?
Agar pembahasa dalam penulisan ini tidak
melebar, maka penulis hanya membatasi pada pembahasa kemampuan dan peran guru
dalam pembelajaran.
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini adalah :
1.
Untuk mengetahui kemampuan-kemampuan
harus dimiliki guru dalam melaksanakan pembelajaran
2.
Mengetahui peran guru dalam
pembelajaran
3.
Mendalami materi pada mata kuliah
Kajian Teori dan Praktek Pendidikan Dasar
4.
Untuk meningkatkan pemahaman
penulis terhadap materi kuliah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Makna Pembelajaran
Kata pembelajaran merupakan terjemahan
dari “instruction”, yang banyak
dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak
dipengaruhi oleh aliran Psikologi Kognitif-Wholistik,
yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu juga
dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan dapat mempermudah
siswa mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam media seperti bahan-bahan
cetak, program televisi, gambar, audio, dan lain sebagainya. Sebagaimana
tercermin dalam ungkapan Gagne dalam Sanjaya(2006 : 78) bahwa: “Instruction is a set of event that effect
learners in such a way that learning is facilitated”.
Selanjutnya Gagne dalam Sanjaya (2006)
berpendapat bahwa pembelajaran merupakan
suatu set peristiwa dalam mempengaruhi siswa sedemikian rupa agar memudahkan
belajar. Di sini terjadi siklus belajar yang merupakan interaksi antara
komponen belajar dimana guru harus merencanakan proses pembelajaran sedemikian
menarik dan memudahkan siswa belajar. Para garu harus menciptakan cara terbaik yang
paling mungkin dalam memanfaatkan seluruh waktu yang mereka dan para siswa
miliki bersama. Dalam hal ini, Kelvin Seifert (2007, 172) mengajukan tiga cara,
cara pertama, menjadikan proses
belajar mengajar dalam kelas sebisa mungkin dapat menerima situasi-situasi dan
gagasan-gagasan baru. Cara kedua
adalah dengan memaksimalkan ingatan tentang apa saja yang sudah dipelajari oleh
para siswa, dan cara ketiga yaitu
dengan menspesifikasi tujuan pembelajaran sejelas dan setepat mungkin. Proses
pembelajaran mungkin hanya layak diingat dan diaplikasikan jika dihadirkan
dengan cara yang sangat jelas.
Dalam konteks tersebut guru harus membantu
menfasilitasi siswa mudah belajar, dan sebagai suatu langkah awal harus
merancang atau mendesain proses pembelajaran yang baik dan berpihak kepada
siswanya. Dan dengan demikian proses pembelajaran sebagai implementasi dari
kurikulum akan menjadi kegiatan pembelajaran yang menarik dan relevan.
Seiring dengan perubahan dan
penyempurnaan kurikulum sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka format
pembelajaran di sekolah pun berubah dari format kelas menjadi sekolah bersama
dalam satu kota, sekolah bersama dalam satu negara, bahkan bersama di dunia
atau sekolah global. Berkat kemajuan teknologi informasi, kehadiran secara
fisik dalam ruangan yang di sebut dengan kelas tidak lagi menjadi keharusan,
yang menjadi keharusan adalah adanya perhatian dan aktivitas secara mandiri
terhadap sesuatu persoalan yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi
interaktif. Konteks tersebut dapat sesuai dengan rekomendasi UNESCO, tentang lima
konsep pokok paradigma pembelajaran dan pendidikan yang dianggap sangat
relevan, yaitu:
a.
Learning
to know:
guru hendaknya mampu menjadi fasilitator bagi peserta didiknya. Information
supplier (ceramah, putar pita kaset) sudah tidak jamannya lagi.
b.
Learning
to do:
peserta didik dilatih untuk secara sadar mampu melakukan suatu perbuatan atau
tindakan produktif dalam ranah pengetahuan, perasaan dan penghendakan. Peserta
didik dilatih untuk aktif-positif daripada aktif-negatif.
c.
Learning to live together: Sekolah sebagai suatu masyarakat mini seharusnya mengajarkan
“cooperatif learning”, kerjasama dan bersama-sama, dan bukannya pertandingan
intelektualistik semata-mata, yang hanya akan menjadikan manusia pandai tetapi
termakan oleh kepandaiannya sendiri dan juga membodohi orang lain. Sekolah
menjadi suatu paguyuban penuh kekeluargaan dan mengembangkan daya cipta, rasa
dan karsa, atau aspek-aspek kemanusiaan manusia.
d.
Learning to be: Peserta didik dikondisikan dalam suasana yang dipercaya,
dihargai, dan dihormati sebagai pribadi yang unik, merdeka, berkemampuan,
adanya kebebasan untuk mengekspresikan diri, sehingga terus menerus dapat
menemukan jati dirinya.
e.
Learning
throughout life,
yaitu bahwa pembelajaran tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu.
Pembelajaran dan pendidikan berlangsung seumur hidup.
Sebagaimana juga Sanjaya (2006, 78), dalam memaknai pembelajaran, mengemukakan bahwa :
1.
Pembelajaran berarti
membelajarkan siswa.
Membelajarkan
siswa merupakan tujuan utama dari mengajar. Oleh karenanya kriteria
keberhasilan proses pembelajaran tidak diukur dari sejauh mana siswa telah
menguasai materi pelajaran melainkan diukur dari sejauh mana siswa telah
melakukan proses belajar. Siswa tidak dianggap sebagai obyek belajar yang dapat
diatur dan dibatasi oleh kemauan guru, melainkan siswa ditempatkan sebagai
subyek yang belajar sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan yang dimilikinya,
dank arena itu materi yang dipelajari serta metode atau cara untuk mempelajari materi tersebut
ditentukan dengan memperhatikan karakteristik siswa.
2.
Proses pembelajaran berlangsung
di mana saja
Dalam pengertian ini kelas bukanlah satu-satunya
tempat belajar siswa. Akan tetapi siswa dapat memanfaatkan berbagai tempat
untuk melakukan kegiatan belajar sesuai dengan kebutuhan dan sifat materi
pelajaran.
3.
Pemebelajaran berorientasi pada
pencapaian tujuan
Penguasaan
terhadap materi pelajaran merupakan tujuan antara untuk mencapai agar
terjadinya perubahan tingkah laku siswa guna tercapainya tujuan pembelajaran
yaitu pembentukan pola perilaku siswa yang pada gilirannya tercapainya tujuan
pendidikan. Ditangan para gurulah terletak kemungkinan berhasil tidaknya
pencapaian tujuan pendidikan di sekolah, serta ditangan mereka pulalah
bergantungnya masa depan karier para
siswa yang menjadi tumpuan harapan para orangtunya (Kelvin Seifert, 2007, 172).
C.
Kemampuan dan Peran Guru
Setiap guru harus memiliki kemampuan
merancang dan mengimplementasikan berbagai strategi pembelajaran yang dianggap
cocok dengan minat dan bakat serta sesuai dengan taraf perkembangan siswa
termasuk di dalamnya memanfaatkan berbagai sumber dan media pembelajaran untuk
menjamin efektifitas pembelajaran. Dengan kalimat lain, seorang guru perlu
memiliki kemampuan khusus, kemampuan yang tidak mungkin dimiliki oleh orang
yang bukan guru (Sanjaya 2007, 14-15).
Menurut Sukmadinata, ada tiga hal yang
harus dikuasai oleh seorang pendidik (guru) yaitu:
a.
Seorang guru harus memahami
esensi dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam kurikulum. Penguasaan
terhadap esensi dari tujuan kurikulum sangat berpengaruh dalam penjabarannya,
baik dalam penyusunan rancangan pengajaran maupun dalam pelaksanaan kurikulum.
b.
Kemampuan untuk menjabarkan
tujuan-tujuan kurikulum tersebut menjadi tujuan-tujuan yang lebih spesifik.
Tujuan-tujuan yang dirumuskan dalam rumusan kurikulum masih bersifat umum,
sehingga perlu dijabarkan menjadi tujuan-tujuan yang bersifat spesifik. Tujuan
yang bersifat konsep perlu dijabarkan pada aplikasinya, tujuan yang berisfat kompetensi
harus dijabarkan pada performansi, tujuan pemecahan masalah atau pengembangan
yang bersifat umum, perlu dijabarkan pada pemecahan atau pengembangan yang
lebih spesifik.
c.
emampuan untuk
menerjemahkan tujuan-tujuan khusus kepada kegiatan pembelajaran. Konsep atau
aplikasi perlu diterjemahkan ke dalam aktifitas pembelajaran, bagaimana
pendekatan atau metode pembelajaran untuk menguasai konsep atau mengembangkan
kemampuan menerapkan konsep. Tujuan pendidikan dapat ditunjukkan pada bagan di
bawah ini.
Arah
Pencapaian dan Penjabaran Tujuan Pendidikan
(Sumber
: Sanjaya, 2006)
Tujuan pendidikan nasional merupakan
sasaran akhir dari proses pendidikan, melahirkan tujuan-tujuan institusional
atau tujuan lembaga pendidikan. Tujuan lembaga pendidikan kemudian dijabarkan
ke dalam beberapa tujuan kurikuler atau tujuan bidang studi selanjutnya
dijabarkan lagi ke dalam tujuan pembelajaran atau tujuan yang harus dicapai
dalam satu kali pertemuan.
Laurie Bredy (1990) menegaskan bahwa filsafat, psikologi dan sosiologi
memuat pengetahuan yang dapat membantu guru dalam menentukan tujuan pembelajaran
yaitu: (a) Psikologi
pendidikan, mempelajari bagaimana manusia belajar dalam setting pendidikan,
keefektifan sebuah pengajaran, cara mengajar, dan pengelolaan organisasi
sekolah. (b) sosiologi, dan (c) Karakteristik pengetahuan dan
pembelajaran (filsafat)
Seluruh pernyataan yang terdapat dalam tujuan pembelajaran harus meliputi
ketiga prinsip di atas. Sehinga sebagai implementator kurikulum, guru harus
memiliki pemahaman yang baik dalam ketiga aspek tersebut. Dan kemudian kemampuan-kemampuan
itu harus diaktualisasikannya dalam proses pembelajaran, misalnya dalam: 1)
merencanakan pembelajaran dan merumuskan tujuan, 2) mengelola kegiatan
individu, 3) menggunakan multi metoda, dan memanfaatkan media, 4) berkomunikasi
interaktif dengan baik, 5) memotivasi dan memberikan respons, 6) melibatkan
siswa dalam aktivitas, 7) mengadakan penyesuaian dengan kondisi siswa, 8)
melaksanakan dan mengelola pembelajaran, 9) menguasai materi pelajaran, 10)
memperbaiki dan mengevaluasi pembelajaran, 11) memberikan bimbingan,
berinteraksi dengan sejawat dan bertanggungjawab kepada konstituen serta, 12)
mampu melaksanakan penelitian.
Kemampuan-kemampuan seperti itu menurut Sukmadinata mungkin sudah dikuasai
oleh guru-guru atau para pendidik, tetapi mungkin juga baru dikuasai sebagian
atau baru sebagian guru yang menguasainya, maka perlu adanya kegiatan-kegiatan
yang bersifat peningkatan atau penyegaran, baik melalui diskusi-diskusi,
simulai, lokakarya, pelatihan ataupun penataran.
Merujuk pada berbagai pandangan di atas maka untuk mencapai suatu mutu
pendidikan yang baik, di samping diperlukan suatu rancangan kurikulum yang baik
(relevan, kontekstual, dan fleksibel), diperlukan pula tenaga kependidikan yang
memiliki kemampuan dan komitmen, baik dalam tataran administrasi kependidikan dan
terutama dalam ranah pembelajaran. Sehingga kurikulum yang baik bukan saja
dalam rancangan dan desain melainkan baik pula dalam implementasi atau
aktualisasi. Terkait dengan itu Sanjaya (2006, 147) mengemukakan beberapa peran
guru dalam proses pembelajaran, yang harus dimainkan guru sebagai implementator
kurikulum, yaitu: (1) sebagai sumber belajar; (2) sebagai fasilitator; (3)
sebagai manejer; (4) sebaga demonstrator; (5) sebagai administrator; (6)
sebagai motivator; (7) sebagai organisator; dan (8) sebagai evaluator.
Sebagai sumber belajar guru berperan
untuk menyampaikan ilmu pengetahuan dan informasi-informasi pengetahun aktual
dan terkini. Sebagai fasilitator, guru berperan untuk memudahkan proses
pembelajaran. Sebagai manejer guru berperan mendesain dan menyetting proses
belajar mengajar yang relevan dan menarik serta bertujuan. Sebagai demonstrator
guru harus memosisikan diri untuk diteladani. Sebagai administrator, guru harus
mendokumentasikan segala administrasi pada proses pembelajaran. Sebagai
motivator harus mampu membangkitkan motivasi siswa dalam proses pembelajaran
dan sebagai organisator harus mempu mengorganisir pembelajaran dengan baik
serta mampu mengevaluasi proses pembelajaran dalam segala aspeknya untuk
peningkatan mutu pendidikan.
Hampir senada dengan sanjaya, Mulyasa
(2007, 35-64) merumuskan 19 peran guru dalam proses pembelajaran yakni sebagai
berikut: (1) Guru sebagai pendidik. Dengan demikian guru harus memiliki standar
kualitas tertentu yang mencakup tanggugjawab, wibawa, mandiri dan disiplin, sehingga
dapat menjadi tokoh, panutan dan identifikasi para peserta didik; (2) Guru
sebagai pengajar. Mengajar dalam konteks ini berangkat dari teori kuno yang
menekankan bahwa mengajar berarti member tahu atau menyampaikan materi
pembelajaran. Walaupun konsep ini cenderung membuat kegiatan pembelajaran
menjadi monoton namun tidak dapat didiskreditkan untuk mata pelajaran tertentu;
(3) Guru sebagai pembimbing. Sebagai pembimbing guru harus merumuskan tujuan
secara jelas, menetapkan waktu, menggunakan petunjuk, cara yang harus ditempauh
serta menilai kelancarannya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta
didik. Semua itu dilakukan berdasarkan kerjsama dengan peserta didik, walaupun
guru memberikan pengaruh utama dalam setiap aspek perjalanan. (4) Guru sebagai
pelatih. Pembelajaran memerlukan latihan dan keterampilan, baik intelektual
maupun motorik, sehingga guru harus bertindak sebagai pelatih untuk melatih
peserta didik ketika mereka tidak mampu menguasai kompetensi tertentu. (5) Guru
sebagai penasehat. Menjadi guru pada tingkat manapun berarti menjadi penasehat
dan menjadi orang kepercayaan, kegiatan pembelajaranpun meletakkannya pada
posisi tersebut. Peserta didik senantiasa berhadapan dengan lebutuhan untuk
membuat keputusan dan dalam prosesnya akan lari kepada gurunya. (6) Guru
sebagai pembaharu atau innovator. Prinsip modernisasi tidak hanya diwujudkan
dalam bentuk buku-buku sebagai alat utama pendidikan, melainkan dalam semua
rekaman tentang pengalaman manusia. Maka guru berperan untuk menerjemahkan pengalaman-pengalaman
berharga tersebut ke dalam istilah bahasa modern yang akan diterima oleh
peserta didik. (7) Guru sebagai teladan. Sebagai teladan tentu saja pribadi dan
apa yang dilakukan guru akan mendapat sorotan peserta didik serta orang dosekitar
lingkungan, maka guru harus memiliki sikap-sikap dasar yang baik, gaya bicara
dan berjalan, berpakaian berinteraksi dengan sesame berpikir positif dan
lain-lain. (8) Guru sebagai pribadi.
Dalam tataran ini kestabilan emosi amat diperlukan. Guru yang mudah marah akan
membuat peserta didik takut dan berakibat minat untuk mengikuti pembelajaran
semakin berkurang dan hilangnya konsentrasi. Sebagai pribadi guru harus
memiliki kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat melalui berbagai kegiatan
kemasyarakatan. (9) Guru sebagai peneliti. Pembelajran merupakan seni yang
dalam pelaksanaannya memerlukan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi
lingkungan. Untuk itu diperlukan berbagai penelitian, yang di dalamnya
melibatkan guru. Ini juga diperlukan untuk menambah pemahaman guru terhadap
realitas empiris masalah pendidikan. (10) Guru sebagai pendorong kreativitas.
Kreativitas merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran, dan guru
dituntut untuk mendemontrasikan dan menunjukkan proses kreativitas tersebut.
Kreativitas ditandai oleh adanya kegiatan menciptakan sesuatu yang sebelumnya
tidak ada dan tidak dilakukan oleh seseorang atau adanya kecenderungan untuk
menciptakan sesuatu. (11) Guru sebagai pembangkit pandangan. Dalam hal ini guru
dituntut untuk memberikan dan memelihara pandangan tentang keagungan kepada
peserta didiknya. Peran ini menuntut guru harus terampil dalam berkomunikasi
dengan peserta didik di segala umur, sehingga setiap langkah dari proses
pendidikan yang dikelolanya dialksanakan untuk menunjang peran ini. (12) Guru
sebagai pekerja rutin. Dalam hal ini pekerjaan rutin berkaitan dengan tugas
tugas sebagai tenaga kependidikan, yakni bekerja tepat waktu, membuat catatan
dan laporan, membaca, mengevaluasi, mengatur jadwal dan sebagainya. (13) Guru sebagai
pemindah kemah. Yang dimaksud pemindah kemah disini adalah guru berusaha keras
untuk mengetahuai masalah peserta didik, kepercayaan, dan kebiasaan yang
menghalangi kemajuan, serta membantu menjauhi dan meninggalkannya untuk
mendapatkan cara-cara baru yang lebih sesuai. (14) Guru sebagai pembawa cerita.
Cerita adalah cermin yang bagus dan merupakan tongkat pengukur. Dengan cerita
manusia bias mengamati bagaimana memecahkan masalah yang sama dengan yang
dihadapinya, menemukan gagasan dan kehidupan yang Nampak diperlukan oleh
manusia lain, yang bias disesuaikan dalam kehidupan mereka. Guru harus berusaha
mencari cerita untuk membangkitkan gagasan kehidupan peserta didik dimasa
mendatang. (15) Guru sebagai actor. Guru harus melakukan apa yang ada dalam
naskah yang telah disusun dengan mempertimbangkan pesan yang akan disampaikan
kepada penonton. (16) Guru sebagai emansipator. Fungsi ini terlaksana ketika
peserta didik yang telah menilai dirinya sebagai pribadi yang tidak berharga,
merasa dicampakkan orang lain atau selalu diuji dengan berbagai kesulitan
hingga hamper putus asa, dibangkitkan kembali oleh guru menjadi pribadi yang
percaya diri. (17) Guru sebagai evaluator. Evaluator atau penilaian merupakan
aspek pembelajaran yang paling kompleks, karena melibatkan banyak latar
belakang dan hubungan, serta variable. Karena itu guru perlu memiliki
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang memadai, misalnya teknik evaluasi
baik tes maupun non tes yang meliputi jenis masing-masing teknik,
karakteristik, prosesdur pengengambangan serta cara menentukan baik atau
tidaknya ditinjau dari berbagai segi, validitas, reliabilitas, daya beda dan
tingkat kesukaran. (18) Guru sebagai pengawet. Sebagai pengawet guru harus
berusaha mengawetkan pengetahuan yang telah dimiliki dalam pribadinya, dalam
arti guru harus berusaha menguasai materi standar yang akan disajikan kepada
peserta didik. (19) Guru sebagai kulminator. Guru harus mampu menghentikan
kegiatannya pada sautu unit tertentu dan kemudian maju ke unit berikutnya.
Untuk itu diperlukan kemampuan menciptakan suatu kulminasi pada unit tertentu
dari suatu kegiatan belajar. Dengan rancangannya peserta didik akan melewati
tahap kulminasi, suatu tahap yang memungkinkan setiap peserta didik mengetahui
kemajuan belajaranya. Di sini peran sebagai kulminator terpadu dengan peran
sebagai evaluator.
BAB III
KESIMPULAN
Pembelajaran merupakan suatu proses yang
melibatkan berbagai hal yang terlihat sangat kompleks. Namun pada intinya
melaksanakan pembelajaran berarti membantu siswa berproses untuk mengembangkan
segala potensinya meliputi intelektual, motorik serta tugas-tugas perkembangan
lainnya.
Oleh karena itu peningkatan kemampuan
guru dalam melaksanakan pembelajaran sangat perlu dan harus menjadi salah satu
perioritas untuk peningkatan mutu pendidikan. Secara maksimal diusahakan agar
guru memiliki kemampuan untuk menjabarkan dan merumuskan tujuan-tujuan
pendidikan dalam desain pembelajaran dan yang lebih penting adalah
mengaktualisasikan ketika proses pembelajaran berlangsung.
Dalam setiap pembelajaran, guru harus
berperan sebagai sumber
belajar, fasilitator, manejer, demonstrator, administrator, motivator,
organisator, dan evaluator sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung
secara interaktif dan dinamis. Dengan demikian guru harus memiliki pengetahuan
dasar tentang bagaimana melaksanakan peran-peran tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Brady Laurie, (1990). Curriculum Development. Third Edition.
Australia: Prentice Hall
Mulyasa, E. (2007). Menjadi Guru Profesional, Menciptakan
Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Riyanto,
Br. Theo, (2007) Pendidikan Yang Humanis. [Online]. Tersedia: http://www.duniaguru.com/index.php?option=com_content&task=view&id=580&Itemid=28[5
Januari 2008]
Riyanto,
Theo Br. (2007). Pendidikan yang Humanis.
[Online]. Tersedia: http://www.duniaguru.com/index.php?option=com_content&task=view&id=580&Itemid=28
Sanjaya, Wina, (2006). Pembelajaran dalam implementasi Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup
_______,Wina. (2007). Strategi
pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana
Seifert Kelvin, (2007). Manajemen Pembelajaran dan Instruksi
Pendidikan, Manajemen Mutu Psikologi Pendidikan Para Pendidik. Jogyakarta:
IRiSoD
Sukmadinata,
Nana Syaodih, ([t.th]) Kurikulum dan
Pembelajaran, Bandung: Pedagogiana Press
Suryabrata, Sumadi, (1982) Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali
Press
Suyanto (2006). Dinamika Pendidikan Nasional. Jakarta:
PASP Muhammadiyah