Telusur

Friday 28 March 2014

PERANAN GURU DALAM PROSES PEMBELAJARAN



BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Kita semua percaya bahwa guru memunyai andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Peran guru sangat besar dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Keyakinan tersebut muncul dikarenakan manusia adalah makhluk yang dalam perkembangannya senantiasa membutuhkan orang lain, sejak lahir bahkan pada saat akan meninggalkan dunia ini. Hal ini menunjukkan bahwa setipa orang membutuhkan orang lain dalam perkembangannya, demikian halnya peserta didik; ketika orang tua mendaftarkan anak ke sekolah, pada saat itu juga ia menaruh harapan terhadap guru agar anaknya dapat berkembang secara optimal (Mulyasa, 2007, 35).
Dalam kontek tersebut, sebagai seorang pendidik, guru harus merespon harapan-harapan orang tua untuk membantu mengembangkan potensi-potensi peserta didiknya karena potensi-potensi seperti minat, bakat, kemampuan dan lainnya tidak akan berkembang tanpa bantuan orang lain dalam hal ini adalah guru.
Galileo dalam Sanjaya (2006) menegaskan bahwa sebenarnya kita tidak dapat mengajarkan apapun, kita hanya dapat membantu peserta didik untuk menemukan dirinya dan mengaktualisasikan dirinya. Setiap pribadi manusia memiliki “self-hidden potential excellece” (mutiara talenta yang tersembunyi di dalam diri), tugas pendidikan yang sejati adalah membantu peserta didik untuk menemukan dan mengembangkannya seoptimal mungkin.
Seorang pendidik yang efektif, tidak hanya efektif dalam kegiatan belajar mengajar di kelas saja (transfer of knowledge), tetapi lebih-lebih dalam relasi pribadinya dan “modeling”nya (transfer of attitude and values), baik kepada peserta didik maupun kepada seluruh anggota komunitas sekolah. Relasi ini berkembang dengan pesat dan menghasilkan buah-buah pendidikan jika dilandasi oleh cintakasih antar mereka. Pribadi-pribadi hanya berkembang secara optimal dan relatif tanpa hambatan jika berada dalam suasana yang penuh cinta (unconditional love), hati yang penuh pengertian (understanding heart) serta relasi pribadi yang efektif (personal relationship). Dalam mendidik seseorang kita hendaknya mampu menerima diri sebagaimana adanya dan kemudian mengungkapkannya secara jujur (modeling). Mendidik tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, melatih keterampilan verbal kepada para peserta didik, namun merupakan bantuan agar peserta didik dapat menumbuhkembangkan dirinya secara optimal.
Perubahan paradigma pendidikan yang berpusat pada siswa atau pendidikan bagi siswa, telah menuntut peran yang cukup signifikan dari guru. Ini dikarenakan guru tidak lagi diberi kesempatan menjadi satu-satunya sumber belajar, malainkan hanya mengupayakan suatu kondisi belajar yang dapat memudahkan siswanya belajar. Sehingga dicapai tujuan sejati dari pendidikan yaitu pertumbuhan dan perkembangan diri peserta didik secara utuh menjadi pribadi dewasa yang matang dan mapan, mampu menghadapi berbagai masalah dan konflik dalam kehidupan sehari-hari.

B. Rumusan dan Batasan Masalah
Gambaran latar belakang di atas memberikan kesan bahwa guru perlu mengetahuai dan memahami keterlibatannya dalam pembelajaran. Ini diperlukan sehingga guru tidak terkesan menjadi penonton siswa belajar. Dengan demikian berikut dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu:
1.      Kemampuan apa yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan pembelajaran?
2.      Bagaimana peran guru dalam pembelajaran?
Agar pembahasa dalam penulisan ini tidak melebar, maka penulis hanya membatasi pada pembahasa kemampuan dan peran guru dalam pembelajaran.

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini adalah :

1.      Untuk mengetahui kemampuan-kemampuan harus dimiliki guru dalam melaksanakan pembelajaran
2.      Mengetahui peran guru dalam pembelajaran
3.      Mendalami materi pada mata kuliah Kajian Teori dan Praktek Pendidikan Dasar
4.      Untuk meningkatkan pemahaman penulis terhadap materi kuliah


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Makna Pembelajaran
Kata pembelajaran merupakan terjemahan dari “instruction”, yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran Psikologi Kognitif-Wholistik, yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan dapat mempermudah siswa mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam media seperti bahan-bahan cetak, program televisi, gambar, audio, dan lain sebagainya. Sebagaimana tercermin dalam ungkapan Gagne dalam Sanjaya(2006 : 78) bahwa: “Instruction is a set of event that effect learners in such a way that learning is facilitated”.
Selanjutnya Gagne dalam Sanjaya (2006) berpendapat bahwa  pembelajaran merupakan suatu set peristiwa dalam mempengaruhi siswa sedemikian rupa agar memudahkan belajar. Di sini terjadi siklus belajar yang merupakan interaksi antara komponen belajar dimana guru harus merencanakan proses pembelajaran sedemikian menarik dan memudahkan siswa belajar.  Para garu harus menciptakan cara terbaik yang paling mungkin dalam memanfaatkan seluruh waktu yang mereka dan para siswa miliki bersama. Dalam hal ini, Kelvin Seifert (2007, 172) mengajukan tiga cara, cara pertama, menjadikan proses belajar mengajar dalam kelas sebisa mungkin dapat menerima situasi-situasi dan gagasan-gagasan baru. Cara kedua adalah dengan memaksimalkan ingatan tentang apa saja yang sudah dipelajari oleh para siswa, dan cara ketiga yaitu dengan menspesifikasi tujuan pembelajaran sejelas dan setepat mungkin. Proses pembelajaran mungkin hanya layak diingat dan diaplikasikan jika dihadirkan dengan cara yang sangat jelas.
Dalam konteks tersebut guru harus membantu menfasilitasi siswa mudah belajar, dan sebagai suatu langkah awal harus merancang atau mendesain proses pembelajaran yang baik dan berpihak kepada siswanya. Dan dengan demikian proses pembelajaran sebagai implementasi dari kurikulum akan menjadi kegiatan pembelajaran yang menarik dan relevan.
Seiring dengan perubahan dan penyempurnaan kurikulum sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka format pembelajaran di sekolah pun berubah dari format kelas menjadi sekolah bersama dalam satu kota, sekolah bersama dalam satu negara, bahkan bersama di dunia atau sekolah global. Berkat kemajuan teknologi informasi, kehadiran secara fisik dalam ruangan yang di sebut dengan kelas tidak lagi menjadi keharusan, yang menjadi keharusan adalah adanya perhatian dan aktivitas secara mandiri terhadap sesuatu persoalan yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi interaktif. Konteks tersebut dapat sesuai dengan rekomendasi UNESCO, tentang lima konsep pokok paradigma pembelajaran dan pendidikan yang dianggap sangat relevan, yaitu:
a.       Learning to know: guru hendaknya mampu menjadi fasilitator bagi peserta didiknya. Information supplier (ceramah, putar pita kaset) sudah tidak jamannya lagi.
b.      Learning to do: peserta didik dilatih untuk secara sadar mampu melakukan suatu perbuatan atau tindakan produktif dalam ranah pengetahuan, perasaan dan penghendakan. Peserta didik dilatih untuk aktif-positif daripada aktif-negatif.
c.       Learning to live together: Sekolah sebagai suatu masyarakat mini seharusnya mengajarkan “cooperatif learning”, kerjasama dan bersama-sama, dan bukannya pertandingan intelektualistik semata-mata, yang hanya akan menjadikan manusia pandai tetapi termakan oleh kepandaiannya sendiri dan juga membodohi orang lain. Sekolah menjadi suatu paguyuban penuh kekeluargaan dan mengembangkan daya cipta, rasa dan karsa, atau aspek-aspek kemanusiaan manusia.
d.      Learning to be: Peserta didik dikondisikan dalam suasana yang dipercaya, dihargai, dan dihormati sebagai pribadi yang unik, merdeka, berkemampuan, adanya kebebasan untuk mengekspresikan diri, sehingga terus menerus dapat menemukan jati dirinya.
e.       Learning throughout life, yaitu bahwa pembelajaran tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Pembelajaran dan pendidikan berlangsung seumur hidup.

Sebagaimana juga Sanjaya  (2006, 78), dalam memaknai  pembelajaran, mengemukakan bahwa :
1.      Pembelajaran berarti membelajarkan siswa.
Membelajarkan siswa merupakan tujuan utama dari mengajar. Oleh karenanya kriteria keberhasilan proses pembelajaran tidak diukur dari sejauh mana siswa telah menguasai materi pelajaran melainkan diukur dari sejauh mana siswa telah melakukan proses belajar. Siswa tidak dianggap sebagai obyek belajar yang dapat diatur dan dibatasi oleh kemauan guru, melainkan siswa ditempatkan sebagai subyek yang belajar sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan yang dimilikinya, dank arena itu materi yang dipelajari serta metode  atau cara untuk mempelajari materi tersebut ditentukan dengan memperhatikan karakteristik siswa.
2.      Proses pembelajaran berlangsung di mana saja
Dalam pengertian ini kelas bukanlah satu-satunya tempat belajar siswa. Akan tetapi siswa dapat memanfaatkan berbagai tempat untuk melakukan kegiatan belajar sesuai dengan kebutuhan dan sifat materi pelajaran.
3.      Pemebelajaran berorientasi pada pencapaian tujuan
Penguasaan terhadap materi pelajaran merupakan tujuan antara untuk mencapai agar terjadinya perubahan tingkah laku siswa guna tercapainya tujuan pembelajaran yaitu pembentukan pola perilaku siswa yang pada gilirannya tercapainya tujuan pendidikan. Ditangan para gurulah terletak kemungkinan berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan di sekolah, serta ditangan mereka pulalah bergantungnya masa depan  karier para siswa yang menjadi tumpuan harapan para orangtunya (Kelvin Seifert, 2007, 172).

C. Kemampuan dan Peran Guru
Setiap guru harus memiliki kemampuan merancang dan mengimplementasikan berbagai strategi pembelajaran yang dianggap cocok dengan minat dan bakat serta sesuai dengan taraf perkembangan siswa termasuk di dalamnya memanfaatkan berbagai sumber dan media pembelajaran untuk menjamin efektifitas pembelajaran. Dengan kalimat lain, seorang guru perlu memiliki kemampuan khusus, kemampuan yang tidak mungkin dimiliki oleh orang yang bukan guru (Sanjaya 2007, 14-15).
Menurut Sukmadinata, ada tiga hal yang harus dikuasai oleh seorang pendidik (guru) yaitu:
a.       Seorang guru harus memahami esensi dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam kurikulum. Penguasaan terhadap esensi dari tujuan kurikulum sangat berpengaruh dalam penjabarannya, baik dalam penyusunan rancangan pengajaran maupun dalam pelaksanaan kurikulum.
b.      Kemampuan untuk menjabarkan tujuan-tujuan kurikulum tersebut menjadi tujuan-tujuan yang lebih spesifik. Tujuan-tujuan yang dirumuskan dalam rumusan kurikulum masih bersifat umum, sehingga perlu dijabarkan menjadi tujuan-tujuan yang bersifat spesifik. Tujuan yang bersifat konsep perlu dijabarkan pada aplikasinya, tujuan yang berisfat kompetensi harus dijabarkan pada performansi, tujuan pemecahan masalah atau pengembangan yang bersifat umum, perlu dijabarkan pada pemecahan atau pengembangan yang lebih spesifik.
c.       emampuan untuk menerjemahkan tujuan-tujuan khusus kepada kegiatan pembelajaran. Konsep atau aplikasi perlu diterjemahkan ke dalam aktifitas pembelajaran, bagaimana pendekatan atau metode pembelajaran untuk menguasai konsep atau mengembangkan kemampuan menerapkan konsep. Tujuan pendidikan dapat ditunjukkan pada bagan di bawah ini.
 

 Arah Pencapaian dan Penjabaran Tujuan Pendidikan
(Sumber : Sanjaya, 2006)

Tujuan pendidikan nasional merupakan sasaran akhir dari proses pendidikan, melahirkan tujuan-tujuan institusional atau tujuan lembaga pendidikan. Tujuan lembaga pendidikan kemudian dijabarkan ke dalam beberapa tujuan kurikuler atau tujuan bidang studi selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam tujuan pembelajaran atau tujuan yang harus dicapai dalam satu kali pertemuan.
Laurie Bredy (1990) menegaskan bahwa filsafat, psikologi dan sosiologi memuat pengetahuan yang dapat membantu guru dalam menentukan tujuan pembelajaran yaitu: (a) Psikologi pendidikan, mempelajari bagaimana manusia belajar dalam setting pendidikan, keefektifan sebuah pengajaran, cara mengajar, dan pengelolaan organisasi sekolah. (b) sosiologi, dan (c) Karakteristik pengetahuan dan pembelajaran (filsafat)
Seluruh pernyataan yang terdapat dalam tujuan pembelajaran harus meliputi ketiga prinsip di atas. Sehinga sebagai implementator kurikulum, guru harus memiliki pemahaman yang baik dalam ketiga aspek tersebut. Dan kemudian kemampuan-kemampuan itu harus diaktualisasikannya dalam proses pembelajaran, misalnya dalam: 1) merencanakan pembelajaran dan merumuskan tujuan, 2) mengelola kegiatan individu, 3) menggunakan multi metoda, dan memanfaatkan media, 4) berkomunikasi interaktif dengan baik, 5) memotivasi dan memberikan respons, 6) melibatkan siswa dalam aktivitas, 7) mengadakan penyesuaian dengan kondisi siswa, 8) melaksanakan dan mengelola pembelajaran, 9) menguasai materi pelajaran, 10) memperbaiki dan mengevaluasi pembelajaran, 11) memberikan bimbingan, berinteraksi dengan sejawat dan bertanggungjawab kepada konstituen serta, 12) mampu melaksanakan penelitian.
Kemampuan-kemampuan seperti itu menurut Sukmadinata mungkin sudah dikuasai oleh guru-guru atau para pendidik, tetapi mungkin juga baru dikuasai sebagian atau baru sebagian guru yang menguasainya, maka perlu adanya kegiatan-kegiatan yang bersifat peningkatan atau penyegaran, baik melalui diskusi-diskusi, simulai, lokakarya, pelatihan ataupun penataran.
Merujuk pada berbagai pandangan di atas maka untuk mencapai suatu mutu pendidikan yang baik, di samping diperlukan suatu rancangan kurikulum yang baik (relevan, kontekstual, dan fleksibel), diperlukan pula tenaga kependidikan yang memiliki kemampuan dan komitmen, baik dalam tataran administrasi kependidikan dan terutama dalam ranah pembelajaran. Sehingga kurikulum yang baik bukan saja dalam rancangan dan desain melainkan baik pula dalam implementasi atau aktualisasi. Terkait dengan itu Sanjaya (2006, 147) mengemukakan beberapa peran guru dalam proses pembelajaran, yang harus dimainkan guru sebagai implementator kurikulum, yaitu: (1) sebagai sumber belajar; (2) sebagai fasilitator; (3) sebagai manejer; (4) sebaga demonstrator; (5) sebagai administrator; (6) sebagai motivator; (7) sebagai organisator; dan (8) sebagai evaluator.
 Sebagai sumber belajar guru berperan untuk menyampaikan ilmu pengetahuan dan informasi-informasi pengetahun aktual dan terkini. Sebagai fasilitator, guru berperan untuk memudahkan proses pembelajaran. Sebagai manejer guru berperan mendesain dan menyetting proses belajar mengajar yang relevan dan menarik serta bertujuan. Sebagai demonstrator guru harus memosisikan diri untuk diteladani. Sebagai administrator, guru harus mendokumentasikan segala administrasi pada proses pembelajaran. Sebagai motivator harus mampu membangkitkan motivasi siswa dalam proses pembelajaran dan sebagai organisator harus mempu mengorganisir pembelajaran dengan baik serta mampu mengevaluasi proses pembelajaran dalam segala aspeknya untuk peningkatan mutu pendidikan.
Hampir senada dengan sanjaya, Mulyasa (2007, 35-64) merumuskan 19 peran guru dalam proses pembelajaran yakni sebagai berikut: (1) Guru sebagai pendidik. Dengan demikian guru harus memiliki standar kualitas tertentu yang mencakup tanggugjawab, wibawa, mandiri dan disiplin, sehingga dapat menjadi tokoh, panutan dan identifikasi para peserta didik; (2) Guru sebagai pengajar. Mengajar dalam konteks ini berangkat dari teori kuno yang menekankan bahwa mengajar berarti member tahu atau menyampaikan materi pembelajaran. Walaupun konsep ini cenderung membuat kegiatan pembelajaran menjadi monoton namun tidak dapat didiskreditkan untuk mata pelajaran tertentu; (3) Guru sebagai pembimbing. Sebagai pembimbing guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menetapkan waktu, menggunakan petunjuk, cara yang harus ditempauh serta menilai kelancarannya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik. Semua itu dilakukan berdasarkan kerjsama dengan peserta didik, walaupun guru memberikan pengaruh utama dalam setiap aspek perjalanan. (4) Guru sebagai pelatih. Pembelajaran memerlukan latihan dan keterampilan, baik intelektual maupun motorik, sehingga guru harus bertindak sebagai pelatih untuk melatih peserta didik ketika mereka tidak mampu menguasai kompetensi tertentu. (5) Guru sebagai penasehat. Menjadi guru pada tingkat manapun berarti menjadi penasehat dan menjadi orang kepercayaan, kegiatan pembelajaranpun meletakkannya pada posisi tersebut. Peserta didik senantiasa berhadapan dengan lebutuhan untuk membuat keputusan dan dalam prosesnya akan lari kepada gurunya. (6) Guru sebagai pembaharu atau innovator. Prinsip modernisasi tidak hanya diwujudkan dalam bentuk buku-buku sebagai alat utama pendidikan, melainkan dalam semua rekaman tentang pengalaman manusia. Maka guru berperan untuk menerjemahkan pengalaman-pengalaman berharga tersebut ke dalam istilah bahasa modern yang akan diterima oleh peserta didik. (7) Guru sebagai teladan. Sebagai teladan tentu saja pribadi dan apa yang dilakukan guru akan mendapat sorotan peserta didik serta orang dosekitar lingkungan, maka guru harus memiliki sikap-sikap dasar yang baik, gaya bicara dan berjalan, berpakaian berinteraksi dengan sesame berpikir positif dan lain-lain. (8) Guru sebagai  pribadi. Dalam tataran ini kestabilan emosi amat diperlukan. Guru yang mudah marah akan membuat peserta didik takut dan berakibat minat untuk mengikuti pembelajaran semakin berkurang dan hilangnya konsentrasi. Sebagai pribadi guru harus memiliki kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat melalui berbagai kegiatan kemasyarakatan. (9) Guru sebagai peneliti. Pembelajran merupakan seni yang dalam pelaksanaannya memerlukan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi lingkungan. Untuk itu diperlukan berbagai penelitian, yang di dalamnya melibatkan guru. Ini juga diperlukan untuk menambah pemahaman guru terhadap realitas empiris masalah pendidikan. (10) Guru sebagai pendorong kreativitas. Kreativitas merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran, dan guru dituntut untuk mendemontrasikan dan menunjukkan proses kreativitas tersebut. Kreativitas ditandai oleh adanya kegiatan menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada dan tidak dilakukan oleh seseorang atau adanya kecenderungan untuk menciptakan sesuatu. (11) Guru sebagai pembangkit pandangan. Dalam hal ini guru dituntut untuk memberikan dan memelihara pandangan tentang keagungan kepada peserta didiknya. Peran ini menuntut guru harus terampil dalam berkomunikasi dengan peserta didik di segala umur, sehingga setiap langkah dari proses pendidikan yang dikelolanya dialksanakan untuk menunjang peran ini. (12) Guru sebagai pekerja rutin. Dalam hal ini pekerjaan rutin berkaitan dengan tugas tugas sebagai tenaga kependidikan, yakni bekerja tepat waktu, membuat catatan dan laporan, membaca, mengevaluasi, mengatur jadwal dan sebagainya. (13) Guru sebagai pemindah kemah. Yang dimaksud pemindah kemah disini adalah guru berusaha keras untuk mengetahuai masalah peserta didik, kepercayaan, dan kebiasaan yang menghalangi kemajuan, serta membantu menjauhi dan meninggalkannya untuk mendapatkan cara-cara baru yang lebih sesuai. (14) Guru sebagai pembawa cerita. Cerita adalah cermin yang bagus dan merupakan tongkat pengukur. Dengan cerita manusia bias mengamati bagaimana memecahkan masalah yang sama dengan yang dihadapinya, menemukan gagasan dan kehidupan yang Nampak diperlukan oleh manusia lain, yang bias disesuaikan dalam kehidupan mereka. Guru harus berusaha mencari cerita untuk membangkitkan gagasan kehidupan peserta didik dimasa mendatang. (15) Guru sebagai actor. Guru harus melakukan apa yang ada dalam naskah yang telah disusun dengan mempertimbangkan pesan yang akan disampaikan kepada penonton. (16) Guru sebagai emansipator. Fungsi ini terlaksana ketika peserta didik yang telah menilai dirinya sebagai pribadi yang tidak berharga, merasa dicampakkan orang lain atau selalu diuji dengan berbagai kesulitan hingga hamper putus asa, dibangkitkan kembali oleh guru menjadi pribadi yang percaya diri. (17) Guru sebagai evaluator. Evaluator atau penilaian merupakan aspek pembelajaran yang paling kompleks, karena melibatkan banyak latar belakang dan hubungan, serta variable. Karena itu guru perlu memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang memadai, misalnya teknik evaluasi baik tes maupun non tes yang meliputi jenis masing-masing teknik, karakteristik, prosesdur pengengambangan serta cara menentukan baik atau tidaknya ditinjau dari berbagai segi, validitas, reliabilitas, daya beda dan tingkat kesukaran. (18) Guru sebagai pengawet. Sebagai pengawet guru harus berusaha mengawetkan pengetahuan yang telah dimiliki dalam pribadinya, dalam arti guru harus berusaha menguasai materi standar yang akan disajikan kepada peserta didik. (19) Guru sebagai kulminator. Guru harus mampu menghentikan kegiatannya pada sautu unit tertentu dan kemudian maju ke unit berikutnya. Untuk itu diperlukan kemampuan menciptakan suatu kulminasi pada unit tertentu dari suatu kegiatan belajar. Dengan rancangannya peserta didik akan melewati tahap kulminasi, suatu tahap yang memungkinkan setiap peserta didik mengetahui kemajuan belajaranya. Di sini peran sebagai kulminator terpadu dengan peran sebagai evaluator.
   

BAB III

KESIMPULAN

Pembelajaran merupakan suatu proses yang melibatkan berbagai hal yang terlihat sangat kompleks. Namun pada intinya melaksanakan pembelajaran berarti membantu siswa berproses untuk mengembangkan segala potensinya meliputi intelektual, motorik serta tugas-tugas perkembangan lainnya.
Oleh karena itu peningkatan kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran sangat perlu dan harus menjadi salah satu perioritas untuk peningkatan mutu pendidikan. Secara maksimal diusahakan agar guru memiliki kemampuan untuk menjabarkan dan merumuskan tujuan-tujuan pendidikan dalam desain pembelajaran dan yang lebih penting adalah mengaktualisasikan ketika proses pembelajaran berlangsung.
Dalam setiap pembelajaran, guru harus berperan sebagai sumber belajar, fasilitator, manejer, demonstrator, administrator, motivator, organisator, dan evaluator sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung secara interaktif dan dinamis. Dengan demikian guru harus memiliki pengetahuan dasar tentang bagaimana melaksanakan peran-peran tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
 
Brady Laurie, (1990). Curriculum Development. Third Edition. Australia: Prentice Hall
Mulyasa, E. (2007). Menjadi Guru Profesional, Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Riyanto, Br. Theo, (2007) Pendidikan Yang Humanis. [Online]. Tersedia: http://www.duniaguru.com/index.php?option=com_content&task=view&id=580&Itemid=28[5 Januari 2008]
Riyanto, Theo Br. (2007). Pendidikan yang Humanis. [Online]. Tersedia: http://www.duniaguru.com/index.php?option=com_content&task=view&id=580&Itemid=28
Sanjaya, Wina, (2006). Pembelajaran dalam implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup
_______,Wina. (2007). Strategi pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana
Seifert Kelvin, (2007). Manajemen Pembelajaran dan Instruksi Pendidikan, Manajemen Mutu Psikologi Pendidikan Para Pendidik. Jogyakarta: IRiSoD
Sukmadinata, Nana Syaodih, ([t.th]) Kurikulum dan Pembelajaran, Bandung: Pedagogiana Press
Suryabrata, Sumadi, (1982) Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali Press
Suyanto (2006). Dinamika Pendidikan Nasional. Jakarta: PASP Muhammadiyah